SKRIPSI
PELAKSANAAN PAKSA BADAN (GIJZELING) DALAM KEPAILITAN PERUSAHAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Dalam perkara kepailitan suatu perusahaan, dikenal adanya Paksa Badan atau Gijzeling, yaitu penahanan terhadap Debitor Pailit yang beritikad tidak baik dalam memenuhi kewajibannya, namun pada prakteknya sejak Paksa Badan diberlakukan kembali lewat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan dan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Paksa Badan ini belum dimanfaatkan secara optimal sebagai upaya penyelesaian perkara kepailitan. Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas lembaga ini, maka perlu ditinjau mengenai ketentuan yang mengatur Paksa Badan sebagai dasar hukum pelaksanaannya agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Mengingat juga Paksa Badan sempat dihapus oleh Surat Edaran Mahkamah Agung karena alasan melanggar perikemanusiaan, maka perlu menganalisis pelaksanaan Paksa Badan dari perspektif Hak Asasi Manusia serta menganalisis apakah dengan tidak digunakannya Paksa Badan dalam perkara kepailitan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam penelitian ini digunakan Metode secara Deskriptif Analitis, Metode Pendekatan secara Yuridis Normatif, Tahap Penelitian yaitu Penelitian Kepustakaan dan Penelitian Lapangan serta Analisis Data secara Yuridis Kualitatif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Pengaturan mengenai Pelaksanaan Paksa Badan mempunyai dasar hukum yang kuat, secara substansial diatur dalam Pasal 93 sampai dengan Pasal 95 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sedangkan secara prosedural Paksa Badan dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang ada dalam hukum positif dengan tetap memperhatikan batasan yang ditetapkan yakni sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan. Dari perspektif Hak Asasi Manusia pelaksanaan Paksa Badan dalam rangka menyelesaikan perkara kepailitan dapat dibenarkan karena hukum positif memberikan penafsiran bahwa yang dapat dikenai Paksa Badan adalah Debitor yang mempunyai itikad tidak baik untuk memenuhi kewajibannya. Perbuatan Debitor yang demikian merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran hak asasi atas pelaksanaan Paksa Badan terhadap yang bersangkutan. Paksa Badan yang tidak digunakan sebagai upaya penyelesaian dalam kasus kepailitan bukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku karena pada prakteknya di lapangan, sarana untuk menerapkannya belum tersedia dengan jelas dan belum ada petunjuk peraturan pelaksanaan mengenai penempatan dan penetapan biaya yang diperlukan selama Debitor dalam Rumah Tahanan Negara.
Kata kunci: Paksa Badan, Gijzeling, Kepailitan Perusahaan
2000000711 | 346 FAT p | Fakultas Hukum | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Repository |
Tidak tersedia versi lain