STUDI KASUS
STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MA NO.570 K/PDT/1999 JO NO.2863 K/PDT/1999 TENTANG EKSEKUSI TANAH MERUYA SELATAN
Kasus ini mencuat saat warga Meruya memprotes keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan PT. Portanigra atas tanah seluas 44 Ha. Kepemilikan berganda atas tanah tersebut berawal dari penyelewengan Djuhri, mandor tanah, atas kepercayaan yang diberikan Benny melalui Toegono dalam pembebasan di Meruya Selatan pada tahun 1972. Djuhri menjual tanah itu kembali kepada pihak lain karena tahu pembelian tanah itu melanggar aturan. Kemudian, Toegono memperkarakannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan pada akhirnya Djuhri divonis hukuman percobaan dengan membayar 175 juta ditambah 8 Ha tanah. Pihak Portanigra belum menganggap masalah ini selesai dan menggugat Djuhri kembali secara perdata ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memenangkan gugatan PT. Portanigra. Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan Portanigra dinilai batal demi hukum karena memiliki sejumlah kejanggalan, di antaranya penggabungan unsur perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) dan ingkar janji (wanprestasi). Bahkan batas, letak, luas, serta ciri tanah yang hendak dieksekusi masih belum jelas. Mahkamah Agung memenangkan gugatan Portanigra tanpa mempertimbangkan kelengkapan bukti kepemilikan tanah yang dimiliki Portanigra. Penyusunan studi kasus ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, berdasarkan metode penelitian hukum yang bersifat sosio yuridis, yaitu menguraikan selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif terhadap kaidah - kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi Kasus hukum ini akibat dari lemahnya koordinasi dan komunikasi antara instansi BPN dan Pengadilan. Jika terjadi sengketa di pengadilan yang objeknya tanah belum bersertifikat, secepatnya pengadilan memberitahukan pihak kelurahan dan BPN setempat untuk memblokir transaksi atau peralihan tanah tersebut. Untuk setiap transaksi atau peralihan tanah dengan bukti kepemilikan berupa girik, sebaiknya saksi dalam transaksinya adalah Lurah dan Pegawai BPN. Pemerintah seharusnya membentuk badan peradilan agraria independen di bawah peradilan umum layaknya pengadilan pajak, niaga. Peradilan itu diisi oleh hakim-hakim Adhoc yang bukan hanya ahli hukum tanah secara formal tetapi memahami masalah tanah secara multidimensional. Peradilan tersebut dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung memenangkan gugatan Portanigra tanpa mempertimbangkan kelengkapan bukti kepemilikan tanah yang dimiliki Portanigra. Dalam kondisi ini, Mahkamah Agung hanya memandang sisi formalitas hukum antara individu atau komunitas dengan tanah semata sehingga putusan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Kata Kunci : pendaftaran, tanah, interpretasi, hakim
2000000867 | 346 SUC s | Fakultas Hukum | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Repository |
Tidak tersedia versi lain